Mazmur 4:5 : “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa…”, Efesus 4:26 : “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa…”.
Kedua ayat ini dengan jelas memberitahu kita bahwa, antara marah dan dosa adalah dua hal
yang berbeda dan terpisah. Marah bisa menyebakan seseorang menjadi berdosa,
tetapi amarah itu sendiri bukanlah dosa.
Seseorang yang marah bisa juga tidak berdosa. Sehingga kita tidak boleh mengatakan bahwa: “Wah...Yesus pernah marah, jadi itu berarti Ia berdosa” atau “Ternyata Allah juga berbuat dosa karena Ia pun marah bahkan sangat marah.” Tidak! Amarah Tuhan adalah amarah yang kudus dan tak berdosa. Sebab jelas bahwa amarah dan dosa adalah dua hal yang berbeda dan terpisah.
Seseorang yang marah bisa juga tidak berdosa. Sehingga kita tidak boleh mengatakan bahwa: “Wah...Yesus pernah marah, jadi itu berarti Ia berdosa” atau “Ternyata Allah juga berbuat dosa karena Ia pun marah bahkan sangat marah.” Tidak! Amarah Tuhan adalah amarah yang kudus dan tak berdosa. Sebab jelas bahwa amarah dan dosa adalah dua hal yang berbeda dan terpisah.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah: “Dari mana kita tahu bahwa amarah kita dosa atau bukan dosa?”
Baik-baiklah memperhatikan bahwa berdosa atau tidaknya suatu amarah, sepenuhnya terletak pada 5 (Lima) hal, yang dikaitkan dengan amarah tersebut, yaitu:
Baik-baiklah memperhatikan bahwa berdosa atau tidaknya suatu amarah, sepenuhnya terletak pada 5 (Lima) hal, yang dikaitkan dengan amarah tersebut, yaitu:
1. Sifat kemarahan dalam
diri seseorang
Yang dimaksud sifat kemarahan dalam diri seseorang adalah: Apakah kemarahan itu bersifat situasional atau kondisional (bergantung pada keadaan atau situasi); ataukah bersifat substansial (menetap di dalam diri orang tersebut)? Amarah yang bersifat situasional atau kondisional akan menjadikan orang yang marah disebut: “marah”. Tetapi jika bersifat substansial maka orang tersebut adalah “pemarah”.
Memang,
secara literal, “orang
yang marah” tak
berbeda dengan “pemarah”. Sama seperti
orang yang mengirim surat disebut pengirim dan orang yang
membaca surat disebut
pembaca. Tetapi jika dicermati, keduanya
berbeda.
Demikian juga “orang
yang marah”. Orang yang marah, dalam arti karena situasi dan keadaan tertentu, adalah wajar. Sebab, ia bukan
orang mati, tetapi manusia hidup yang memiliki emosi yang hidup dan bereaksi.
Sedangkan “pemarah” adalah orang yang memang mempunyai kebiasaan marah-marah. Ia mempunyai api amarah yang telah melekat di dalam dadanya, sehingga ia dapat saja cepat marah, walau sebenarnya tidak seharusnya marah. Misalnya, Amsal berkata : Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar. (Ams 21:9; 25:24). Atau “Lebih baik tinggal di padang gurun daripada tinggal dengan seorang perempuan yang suka bertengkar dan pemarah” (Ams 21:19). Jadi “pemarah” adalah orang yang memang suka marah-marah.
Sedangkan “pemarah” adalah orang yang memang mempunyai kebiasaan marah-marah. Ia mempunyai api amarah yang telah melekat di dalam dadanya, sehingga ia dapat saja cepat marah, walau sebenarnya tidak seharusnya marah. Misalnya, Amsal berkata : Lebih baik tinggal pada sudut sotoh rumah dari pada diam serumah dengan perempuan yang suka bertengkar. (Ams 21:9; 25:24). Atau “Lebih baik tinggal di padang gurun daripada tinggal dengan seorang perempuan yang suka bertengkar dan pemarah” (Ams 21:19). Jadi “pemarah” adalah orang yang memang suka marah-marah.
Nah, kemarahan yang bersifat menetap di dalam dada dan menjadikan hati panas siang-malam
inilah, yang menjadi dosa. Sehingga 1 Tim 3:3, menasihati: “Seorang pemimpin, hendaklah bukan seorang pemarah,
melainkan peramah.”
Dan Amsal mengingatkan: “jangan
bergaul dengan seorang pemarah.” (Ams
22:24).
Tetapi
mungkin Anda berkata: “Tapi pak, ada banyak ayat Alkitab yang jelas-jelas
menasihati kita bahwa: “Jangan marah”. Jawabannya adalah “Ya”. Tetapi
baik-baiklah memperhatikan bahwa, alasan utama kita dinasihati untuk “Jangan
marah” bukan karena “marah” itu adalah dosa, melainkan supaya jangan amarah itu
melekat di dalam dada. Sebab, sering-sering marah, pada akhirnya terbentuk
menjadi permanen atau melekat di dalam dada. Lihat saja nasihat Pengkhotbah: “Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah
menetap dalam dada (sifat substansial) orang bodoh” (Pkh 9:9).
Jadi jelas bahwa nasihat untuk jangan sering-sering marah, walaupun itu bersifat kondisional, bukan karena marah itu langsung menjadi dosa, tetapi karena sering-sering marah, pada akhirnya akan melekat di dalam dada, sehingga menjadikan kita seorang “pemarah” dan dengan demikian, membawa kita kepada kejahatan dan akhirnya kita berdosa.
Itulah sebabnya Mazmur 37:8 mengingatkan:“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” Jadi sering marah-marah akan menjadi semacam jembatan yang menjembatani Anda kepada kejahatan. Oleh sebab itu, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah“. (Yak 1:19).
Jadi jelas bahwa nasihat untuk jangan sering-sering marah, walaupun itu bersifat kondisional, bukan karena marah itu langsung menjadi dosa, tetapi karena sering-sering marah, pada akhirnya akan melekat di dalam dada, sehingga menjadikan kita seorang “pemarah” dan dengan demikian, membawa kita kepada kejahatan dan akhirnya kita berdosa.
Itulah sebabnya Mazmur 37:8 mengingatkan:“Berhentilah marah dan tinggalkanlah panas hati itu, jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan.” Jadi sering marah-marah akan menjadi semacam jembatan yang menjembatani Anda kepada kejahatan. Oleh sebab itu, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah“. (Yak 1:19).
Jadi dapat
disimpulkan bahwa, marah itu bisa dosa, bisa juga tidak. Suatu kemarahan bisa menjadi dosa, apabila kemarahan itu bersifat
substansial atau melekat dalam diri seseorang. Tetapi marah yang bersifat kondisional atau situasional, bukanlah
dosa, melainkan reaksi lumrah dari perasaan kita. Meskipun demikian, seseorang
haruslah tetap menguasai diri untuk tidak sering-sering marah, karena hal itu
akan menyebabkan amarah tersebut melekat di dada atau menjadi permanen dan
menjadikan ia seorang pemarah. Oleh sebab itu, jika Anda ingin tahu: “Kemarahan
Anda dosa atau tidak?” Jawabannya adalah, tanyakan pada diri Anda sendiri: “Apakah saya adalah seorang yang
dapat marah saja ataukah seorang pemarah?”
2. Sasaran atau obyek
kemarahan
Hal kedua yang
menentukan berdosa tidaknya suatu amarah adalah sasaran atau obyek kemarahan tersebut. Lebih jelasnya adalah
“kepada siapakah amarah itu ditujukan?” Suatu kemarahan akan menjadi dosa apabila diarahkan pada sasaran
atau obyek yang keliru.
Demikian juga sebaliknya, bukanlah dosa apabila amarah itu diarahkan pada
sasaran atau obyek yang tepat.
Kita jelas menolak bahwa
kemarahan Tuhan adalah
sebuah dosa, bukan saja karena Tuhan itu
suci,
tetapi juga karena kemarahan-Nya ditujukan pada obyek yang tepat. Contohnya kemarahan Yesus dalam
Markus 3:5. Di sana jelas dikatakan bahwa Ia marah kepada orang Farisi, oleh karena kedegilan hati orang
Farisi yang berusaha mencari-cari kesalahan-Nya (Markus 2:23-28; 3:2). Demikian
juga perihal Yesus menyucikan Bait
Allah. Silahkan katakanYesus mengasihi semua orang, tetapi jangan bilang Yesus
tidak memarahi orang-orang yang berjual-beli di dalam Bait Allah. Dia sangat
marah!, karena
menurut-Nya Bait Allah telah dijadikan sarang penyamun (Matius 21:13). Jadi kita dapat berkesimpulan
bahwa kemarahan Tuhan, adalah
kemarahan yang bersasaran tepat,
dimana kemarahan tersebut tertuju kepada dosa, yakni orang yang berbuat dosa.
Kemarahan
yang demikian, adalah
kemarahan yang kudus dan yang dikehendaki Allah. Jika keadaan yang demikian
Anda tidak marah, maka Allah akan memarahi Anda. Selain Yehezkiel 3:16-2, lihat saja
kisah Imam Eli dalam 1 Samuel 2:11-26. Imam Eli adalah seorang “Pendeta” yang baik di Bait Allah. Tetapi
ketika anak-anaknya Hofni dan Pinehas “keterlaluan” terhadap korban sembelihan
yang dipersembahkan umat Allah dan “kurang ajar” terhadap wanita-wanita yang
melayani di Kemah Pertemuan, Imam Eli tidak memarahi mereka. Ia hanya berkata:
“Mengapa kamu melakukan hal-hal yang begitu, sehingga kudengar dari bangsa ini
tentang perbuatan-perbuatan jahatmu itu? Janganlah begitu anak-anakku.” (1 Sam
2:23-24). Hal ini ternyata menyebabkan
Allah murka terhadap Imam Eli. Sehingga Allah menyuruh seorang Abdi Allah
datang kepada Imam Eli dan berkata: “Mengapa engkau menghormati anak-anakmu
lebih dari pada-Ku?” (1 Sam 2:29), dan cerita berlanjut dengan Allah membatalkan Perjanjian-Nya bersama Imam Eli, dan batang leher imam Eli dipatahkan.
Sewaktu
mengkhotbahkan prinsip kebenaran ini, Pendeta besar Morris Cerullo mengatakan: “Jika
Allah tidak murka terhadap Anda karena Anda tidak memarahi anak-anak Anda yang berbuat
dosa, maka Ia harus minta maaf kepada Imam Eli karena telah mematahkan batang
lehernya.” Maksud Pdt. Morris adalah Tuhan pasti murka terhadap kita, jika kita
tidak menegor dengan tegas family kita yang jelas-jelas berbuat dosa. Sehingga
Perjanjian Baru menasihati: “Apabila saudaramu berbuat dosa ,
tegorlah dia.” (Mat 18:15).
Jadi bukan hanya menyindir-nyindir melalui lelucon atau plesetan. Tetapi tegor!
Katakan kepadanya secara tegas dan terus terang: “Jangan berbuat begitu. Itu
salah!” Tetapi lihat kalimat selanjutnya dari ayat tersebut: “di
bawah empat mata.” (Mat 18:15). Artinya Tegoran yang Anda berikan kepadanya, pertama-tama harus dalam intensitas nasihat biasa. Sehingga kalimat selanjutnya
dalam ayat tersebut mengatakan: “Jika ia mendengarkan
nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.” (Mat
18:15).
Tetapi....................
“Jika ia
tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas
keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.” (Mat 18:16).
Anda dapat melihat bahwa intensitas tegoran itu mulai meningkat. Jika Anda
sudah menegor dalam taraf nasihat biasa, namun orang itu mengeras dalam kebebalannya,
maka tegoran itu semakin diperkuat. Dalam tegoran pertama, hal itu dilakukan
secara rahasia, di bawah empat mata. Artinya hanya Anda dan dia sajalah yang
tahu. Tetapi karena ia tidak berubah juga, sekarang dihadapkan juga kepada
orang lain. Artinya kejahatan orang tersebut, semakin disaksikan oleh orang
lain. Tujuannya supaya ia tidak boleh menyangsikan atau meremehkan lagi tegoran
yang Anda berikan kepadanya.
Tetapi..........................
“Jika ia
tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat.” (Mat 18:17). Nah,
intensitas tegoran itu semakin memuncak. Di tahap kedua, tegoran itu melibatkan
satu atau dua orang lain saja, tetapi jika ia terus berkeras hati dan tak mau
bertobat juga, maka dinaikkan lagi kepada level yang lebih tinggi, yaitu di
hadapan jemaat. Anda dapat membayangkan, seandainya di Gereja Anda beribadah,
ada 2000 jemaat, maka dosa atau pelanggaran orang itu mulai diperlihatkan
kepada orang sebanyak itu. Ini goresan yang menyakitkan, sebab manusia memiliki ego, dan ego manusia melindungi dirinya dari hal-hal yang merendahkan atau
mempermalukan dirinya. Tetapi lihatlah di sini, Tuhan menyuruh orang berdosa
yang mengeras dalam kebebalan hatinya, untuk diperhadapkan kepada jemaat,
berapapun jumlahnya.
Kemudian,.........................
“Dan jika
ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang
tidak mengenal Allah.” (Mat 18:17). Ini fatal! Persis seperti barang gadai yang
jatuh tempo. Jika orang berdosa itu diingatkan untuk bertobat, mulai dari empat
mata, delapan mata, hingga ratusan mata namun ia tetap bebal dan tak bisa sadar
juga, ia distempel sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Menaruh label atau
merk pada seseorang, lebih keras dari memandang wajahnya dengan muka marah dan
mata melotot. “Pandanglah ia sebagai orang yang tidak mengenal Allah” berarti,
ia dianggap sebagai orang fasik, bukan saja di depan mata kita, tetapi juga di
dalam pemikiran dan pendapat kita juga. Lihat saja: Paulus memberi
label atau merk kepada para pengajar Palsu “Anjing-anjing” (Fil 3:2); Petrus menyebut mereka: “Anjing dan Babi” (2 Petr
2:22). Yohanes
Pembaptis menyebut orang
Farisi dan orang Saduki: “Ular beludak” (Mat 3:7). Yesus
menyebut orang Yahudi yang degil dalam
dosa mereka: “Bapamu Iblis” (Yoh 8:44); dan juga menyebut
Herodes “serigala” (Lukas 13:32). Jadi tegoran itu mengeras, saat
kecintaan akan dosa tidak melunak. Semakin orang berdosa itu tidak melunak,
kita diminta untuk semakin mempertegas tegoran itu dan bukan sebaliknya tegoran
kita melemah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, amarah yang bukan dosa, adalah
amarah yang ditujukan kepada sasaran yang tepat, yaitu terhadap dosa, yakni orang
berdosa, terlebih-lebih yang degil hati dalam dosanya. Oleh sebab
itu, supaya amarah Anda dapat menjadi amarah yang kudus, maka arahkan amarah itu pada sasaran yang
tepat yaitu pada dosa, kejahatan, kemunafikan, ketidakadilan dan hal-hal
negatif lainnya, bukan pada hal-hal yang hanya bersifat kekeliruan atau
keterbasatan manusiawi.
3. Alasan dari kemarahan
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam “alasan kemarahan” yaitu alasan Eksternal dan alasan Internal. Misalnya, saya marah terhadap si A, karena ia berbuat dosa dan tak mau bertobat. Ini adalah alasan Eksternal. Sedangkan alasan Internal ialah: “Mengapa saya marah pada si A karena degil hati dalam dosanya? Apa yang menjadi dasar pijakkan kemarahan saya terhadap si A yang degil dalam dosanya?” Nah, suatu amarah dapat menjadi dosa atau bukan dosa, dilihat dari alasan Internalnya. Mengapa seseorang menjadi marah, atau apa yang menjadi dasar pijakan seseorang menjadi marah.
Sebagian
orang biasanya marah karena iri hati terhadap orang lain. Mereka merasakkan
kesesakan di dalam dada ini, karena melihat orang lain, --apalagi orang fasik--,
memiliki hidup yang lebih makmur dari mereka. Hal ini menjadi alasan internal
mereka untuk memasang muka marah dan hati geram. Tetapi baik-baiklah
memperhatikan bahwa amarah yang didasari atas rasa ketik-puasan, menjadi tidak
kudus atau tidak layak dan menjadi dosa bagi Anda.
Itulah sebabnya Alkitab menasihati: “Jangan menjadi marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri kepada orang fasik.” (Ams 24:19). “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang.” (Maz 37:1). “Jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. (Maz 37:7).
Itulah sebabnya Alkitab menasihati: “Jangan menjadi marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri kepada orang fasik.” (Ams 24:19). “Jangan marah karena orang yang berbuat jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang.” (Maz 37:1). “Jangan marah karena orang yang berhasil dalam hidupnya, karena orang yang melakukan tipu daya. (Maz 37:7).
Tidak perlu marah karena orang lain lebih berhasil secara duniawi dari Anda, sebab itu bukanlah amarah yang layak. Amarah yang kudus atau tidak berdosa, haruslah amarah yang berpijak pada alasan kasih atau mengasihi. Jadi mengapa kita marah pada orang yang berdosa dan degil hati dalam dosanya? Karena kita mengasihi. Kasih itu membuat kita tidak sudi, sehingga kita marah.
Misalnya, Yesus
memarahi Petrus karena Petrus berusaha menghalangi Yesus untuk tidak menderita
penyaliban. Alkitab berkata: “Maka
berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus,
kata-Nya: "Enyahlah Iblis, sebab
engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia." (Mark 8:33).
Di sini jelas bahwa secara Eksternal, Yesus marah kepada Petrus karena Petrus menghalang-halangi rencana Allah dalam kehidupan Mesias. Tetapi Alasan Internal atau dasar pijakkan Kristus marah demikian, karena Ia mengasihi Petrus. Demikian juga dengan orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat. Secara Eksternal, memang Juruselamat itu marah karena ahli Taurat dan orang Farisi degil hati dan tak mau berbalik dari kesalahan mereka. Tetapi Alasan Internalnya adalah, karena Kristus begitu mengasihi mereka. Persis seperti yang Allah katakan: “Barangsiapa Ku-kasihi, Ia kutegor dan Kuhajar” (Why 3:19). Dan penulis Ibrani memberitahu kita bahwa: “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibr 12:6).
Di sini jelas bahwa secara Eksternal, Yesus marah kepada Petrus karena Petrus menghalang-halangi rencana Allah dalam kehidupan Mesias. Tetapi Alasan Internal atau dasar pijakkan Kristus marah demikian, karena Ia mengasihi Petrus. Demikian juga dengan orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat. Secara Eksternal, memang Juruselamat itu marah karena ahli Taurat dan orang Farisi degil hati dan tak mau berbalik dari kesalahan mereka. Tetapi Alasan Internalnya adalah, karena Kristus begitu mengasihi mereka. Persis seperti yang Allah katakan: “Barangsiapa Ku-kasihi, Ia kutegor dan Kuhajar” (Why 3:19). Dan penulis Ibrani memberitahu kita bahwa: “Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya dan menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibr 12:6).
Jadi amarah
yang kudus atau bukan dosa, adalah amarah yang beralasan Internal, karena
mengasihi bukan karena iri hati atau ketidak-puasan.
4. Tujuan Kemarahan
Hal lain yang menentukan berdosa tidaknya suatu amarah adalah tujuan kemarahan tersebut. Untuk apa Anda marah pada seseorang? Sebagian orang marah, dengan tujuan supaya orang takut kepada mereka. Lainnya lagi marah dengan tujuan, untuk menunjukkan bahwa mereka bukan orang lemah. Tetapi sasaran-sasaran yang demikian, menjadikan amarah menjadi tidak layak atau tidak kudus.
Amarah yang
layak atau kudus, harus didasari pada tujuan untuk mendidik atau memberi
peringatan atau pelajaran, demi sesuatu yang baik bagi orang tersebut. Misalnya
Yesus memarahi orang-orang yang berjual-beli dalam Bait Allah. Jelas di sana
bahwa, Yesus menunjukkan kemarahan-Nya yang begitu rupa, dengan tujuan, utuk
memberi pelajaran kepada mereka bahwa, Rumah Tuhan adalah Rumah Doa, bukan
Pasar, apalagi dijadikan tempat berjual-beli yang di dalamnya ada tipu-menipu
dan berbagai kecurangan lainnya karena kepentingan bisnis. Sehingga di puncak
kemarahan-Nya, Yesus membuka mulut dan berkata: “Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat Rumah Bapak-Ku
menjadi tempat berjualan.” (Yoh 2:16). Markus menyebutnya: “Lalu Ia mengajar mereka, kata-Nya: “Bukankah ada tertulis: Rumah-Ku
akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya
sarang penyamun.!” (Mark 11:17). Persis seperti yang dikatakan Alkitab: “Dia menghajar kita untuk kebaikan kita,
supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.” (Ibr 12:10).
Jadi amarah
yang kudus adalah amarah yang bertujuan untuk memberi didikan, peringatan atau
pelajaran, demi suatu kebaikan bagi diri orang tersebut.
5. Durasi Kemarahan
Poin lain yang menentukan berdosa-tidaknya suatu amarah, adalah durasi kemarahan tersebut. Durasi meliputi dua hal, yaitu “Start” dan “Ending” atau “Awal” dan “Akhir”. Berapa sering Anda mulai marah? Dan sampai kapan Anda marah?
Pertama;
“Start”. Sebagian orang terlalu cepat untuk marah. Pagi-pagi sudah marah,
begitu makan siang marah lagi, setelah margrib marah lagi, sementara tidur
malam marah lagi. Walaupun marahnya memiliki alasan yang tepat, namun kemarahan yang
lekas-lekas dilakukan atau sering-sering dilakukan, tidaklah bijaksana. Sehingga
Alkitab berkata: “Orang
yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah
membesarkan kebodohan.” (Ams
14:29); “Bodohlah yang
menyatakan sakit hatinya seketika itu juga.”. (Ams 12: 16).
Mungkin Anda berkata: Mengapa tidak bijaksana jika cepat marah? Alasannya adalah, sebab amarah yang sering-sering dilakukan, dapat menetap di dalam hati Anda dan menjadikan Anda terlatih dalam hal marah, sehingga Anda menjadi “Pemarah” dan karena itu Anda berdosa. Alkitab berkata: “Janganlah lekas-lekas marah dalam hati, karena amarah menetap dalam dada orang bodoh” (Pkh 7:9).
Jadi ditinjau dari awalannya, adalah bijaksana jika amarah itu tidak selekas mungkin dilakukan, tetapi jarang atau melalui proses pertimbangan-pertimbangan.
Kedua; "Ending"
atau Akhir. Amarah yang kudus atau layak, adalah amarah yang tidak menetap di
dalam dada. Dalam arti, tidak bertahan lama, cepat berlalu dan mudah sirna. Efesus 4:26, menasihati kita: “Apabila
kamu menjadi marah, janganlah
kamu berbuat dosa: janganlah matahari
terbenam, sebelum padam amarahmu.”
Baik-baiklah memperhatikan titik dua, yang digunakan dalam ayat tersebut. Titik dua diletakkan setelah kalimat “Jangan kamu berbuat dosa”. Artinya, yang dimaksud dengan berbuat dosa dalam kemarahan, ialah membiarkan amarah itu tinggal tetap di dalam hati, atau berlarut-larut di dalam batin. Alkitab berkata: “Orang-orang yang fasik hatinya menyimpan kemarahan.” (Ayub 36:13). Dengan lain kata, amarah yang dibiarkan lama di dalam hati, menjadi amarah yang berdosa, tidak layak atau tidak kudus. Sebaliknya amarah yang kudus adalah amarah yang tidak tersimpan dalam hati, cepat berlalu dan mudah sirnah.
Lihat saja amarah Kristus di Bait Allah. Yesus pada hari itu sangat marah, tetapi amarah-Nya tidak menetap, melainkan cepat berlalu. Alkitab mencatat bahwa sesudah kemarahan tersebut, malam itu Yesus meninggalkan mereka dan pergi ke Luar kota untuk bermalam di sana. Matius mencatat: “Lalu Ia meninggalkan mereka dan pergi ke luar kota ke Betania dan bermalam di situ.” (Mat 21:17). Tetapi di ayat selanjutnya dikatakan: “Pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya ke kota.” Dan Lukas menambahkan apa yang dilakukan Yesus di Kota bahwa: “Tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah” (Luk 19:47). Di sini, jelas bahwa Juruselamat itu marah, tetapi Ia tidak mengijinkan kemarahan itu menjadi dosa, dengan membiarkan kemarahan tersebut berlarut-larut, melainkan cepat berlalu dan mudah sirna.
Jadi amarah Anda dapat menjadi amarah yang tidak berdosa, apabila amarah tersebut lambat dimulai tetapi cepat diakhiri.
Kesimpulan
Jadi marah dan dosa, adalah dua hal yang berbeda dan terpisah. Suatu amarah bisa menjadi dosa tetapi bisa juga tidak berdosa. Hal ini sepenuhnya bergantung kepada 5 hal yang dikaitkan dengan amarah tersebut.
1.
Sifat kemarahan dalam diri seseorang. Hanya marah saja,
atau Pemarah?
2.
Sasaran atau objek kemarahan. Marah terhadap orang yang
hanya keliru atau terhadap orang yang berbuat dosa?
3.
Alasan kemarahan. Marah karena tidak puas atau marah
karena mengasihi?
4. Tujuan kemarahan. Marah supaya terlihat tidak lemah atau
marah untuk memberi didikan yang baik?
5. Durasi kemarahan. Cepat menjadi marah dan lama berlalunya, atau Lambat menjadi marah
tetapi cepat berlalunya?
Dengan senantiasa mengingat kelima hal tersebut, maka kita dapat bertindak bijaksana dalam mengelola perasaan amarah yang kita miliki.
Kiranya bermanfaat bagi Anda dan juga saya. Tuhan Yesus memberkati.
Oleh:
Ps. Ayub Melkior
Dengan senantiasa mengingat kelima hal tersebut, maka kita dapat bertindak bijaksana dalam mengelola perasaan amarah yang kita miliki.
Kiranya bermanfaat bagi Anda dan juga saya. Tuhan Yesus memberkati.
Oleh:
Ps. Ayub Melkior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih