Seri 1
Bacaan: MATIUS 19:3-6
Pendapat Yesus yang muncul dalam perihal ini, merupakan pernyataan kehendak Allah atas hukum perkawinan di antara manusia. Kita melihat dalam teks ini bahwa ada beberapa masalah yang dipertanyakan oleh kaum Farisi berkaitan dengan perkawinan:
Pertama:
Orang Farisi itu bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya? (Ay 3).
Dalam kesempatan lain, ketika berkhotbah di Galilea, Yesus telah mengemukakan pandangan-Nya mengenai masalah tersebut, bahwa Ia sangat menentang kebiasaan umum orang untuk bercerai (Lihat Matius 5:31-32).
Namun orang Farisi mengajukan pertanyaan ini untuk menjebak/mencobai Yesus. Bila mana Yesus menjawab, maka mereka dapat menggunakan perkataan-Nya sendiri untuk menyerang Dia dan menghasut orang banyak untuk menentang Dia.
Dalam akal bulus mereka: Jika Yesus berkata Perceraian bertentangan dengan hukum Taurat, maka mereka akan menyebut Dia penentang Hukum Musa, sebab dalam hukum Musa, yang mereka ketahui hal itu diperbolehkan. Sebaliknya, jika Yesus berkata Perceraian diperbolehkan, maka mereka dapat menyerang ajaran Yesus, sebagai ajaran yang cacat, sebab ajaran yang demikian bukanlah yang berasal dari Mesias.
Kedua:
“Dengan alasan apa saja”. Mereka bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan Istrinya dengan alasan apa saja? (ay 3)
Di sini permasalahannya adalah: Apakah perceraian itu boleh dilakukan karena suatu alasan tertentu? Apakah perceraian boleh dilakukan dengan alasan apa saja seperti itu? Apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya yang telah dinikahinya bertahun-bertahun asalkan ada suatu alasan?
Hal-hal seperti itulah yang dimaksudkan orang Farisi di dalam muatan pertanyaan mereka.
Mereka melakukan hal ini karena menganggap Yesus telah mengekang kebebasan mereka dalam hal-hal yang sudah menjadi kesukaan mereka. Harapan mereka di balik ini adalah, kiranya Yesus bisa bersikap melunak dengan hukum-hukum-Nya terhadap cita rasa, atau kesukaan orang Farisi, khususnya dalam hal perceraian.
Lalu Apa jawab Yesus?
Dengan mengetahui bahwa Ia sedang dijebak melalui pertanyaan itu, maka Yesus memberi jawaban yang tidak langsung, tetapi mengena.
Di sini Ia mengemukakan prinsip-prinsip fundamental, yang tidak dapat disangkal bahwa manusia yang sesuka hati melakukan perceraian, sehingga membuat ikatan perkawinan seolah-olah bukan ikatan yang sakral dan suci, sama sekali tidak dapat dibenarkan dalam pandangan Allah.
Ada tiga alasan, yang dikemukakan Yesus sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan: Apakah perceraian boleh dilakukan dengan alasan apa saja?
Pertama: Penciptaan Manusia
Hal pertama yang Yesus kemukakan adalah:
“Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula, menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (Mat 19:4)
Dengan ini Kristus mengajak mereka untuk berpikir berdasarkan Firman Tuhan,(sebab mereka tahu Firman Tuhan) mengenai penciptaan Manusia, yaitu:
- Oleh Siapa Manusia dicipta?
Yesus menegaskan: “Ia yang menciptakan Manusia sejak semula, menjadikan mereka laki-laki dan perempuan” (Kej 1:27, 5:2).
Tegas dan jelas bahwa Tuhan Allah yang menjadikan Manusia. Bukan alam. Allah yang Mahakuasa atas segala yang ada dan yang tidak bisa dilawan oleh apapun, Dialah yang menjadikan mereka laki-laki dan perempuan.
- Bagaimana Manusia dicipta?
Cara Dia menjadikan manusia: Adam diambil dari debu tanah, sesudah itu Hawa diambil dari tulang rusuk Adam. Dia menjadikan wanita dari sumber yang sama, yaitu pria, namun dibentuk berbeda dengan pria sehingga menjadi “sepasang” yang pas atau sepadan.
Dengan demikian, pria adalah pasangan yang tepat untuk wanita, dan wanita adalah pasangan tepat bagi pria. Lain dari itu, tidak ada satu pun di antara ciptaan Allah yang bisa menjadi pasangan yang tepat dengan pria maupun wanita.
Sampai di sini, orang Farisi sudah bisa menyimpulkan bahwa: “Kalau memang ini adalah yang pas, lalu mengapa harus dibuang”
Nah, berdasarkan kesepadanan atau kecocokan ini, Yesus melanjutkan mengenai alasan perkawinan: “Sebab itu”.....
Ungkapan “Sebab itu” mengacu kepada “Kesepadanan” atau kecocokan yang telah diterangkan oleh Yesus sebagai alasan bagi tindakan selanjutnya, yaitu: “laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (ay 5).
Jadi oleh karena pria adalah “pasangan” yang tepat bagi wanita, maka pria akan pergi kepada pasangannya yaitu perempuan. Dan perempuan itu akan menjadi “pasangan” yang sepadan terhadap laki-laki.Tidak bisa yang lain.
Di taman Eden, tindakan ini disebut: “dibawa kepada”. Kitab Kejadian 2:22 mencatat: “Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan lalu dibawa-Nyalah kepada manusia itu.”
Sedangkan di abad ini, kita menyebut tindakan itu “Pernikahan Kudus”. Dimana Laki-laki dan perempuan, kedua mempelai dipersatukan dengan sebuah perjanjian Kudus, yang diikrarkan oleh mereka di hadapan Allah, sesudah itu mereka diberkati oleh Pendeta dan selanjutnya kedua belah pihak disebut: “Sudah menikah”; “Sudah berkeluarga” atau “Suami-istri”.
Melalui perjanjian nikah itu, maka mereka yang adalah pria dan wanita, yang berasal dari sumber yang sama, namun dibentuk secara berbeda, “dipersatukan”. Yesus katakan kepada orang Farisi itu: “sehingga keduanya menjadi satu daging.” (ay 5).
Kata “Sehingga” menunjuk kepada hasil yang ditimbulkan dari perjanjian nikah atau yang dalam taman Eden disebut: “dibawa kepada”, bahwa dengan adanya perjanjian itu (perjanjian pernikahan) pria dan wanita (yang menikah) adalah satu daging di hadapan Allah.
Istri Anda yang dengannya Anda berjanji dan diberkati dalam pernikahan kudus adalah belahan jiwa Anda. Suami Anda yang dengannya Anda berjanji dalam pernikahan kudus adalah belahan hati Anda. Kalian dua adalah “Satu daging” (Ef 5:31).
Adam tahu itu, sehingga ia berkata: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku.” (Kej 2:23). Paulus tahu itu, sehingga ia memerintahkan suami-suami untuk mengasihi Istri tidak kurang dari dirinya sendiri, sebab memang dia adalah “dirimu sendiri”; dan “tubuhmu sendiri”. Katanya: “Demikian juga suami harus mengasihi istrinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa mengasihi istrinya mengasihi dirinya sendiri.” (Ef 5:28).
Nah, sampai di sini orang Farisi paham bahwa kalau suami-istri adalah “satu daging”, bolehkah yang satu menceraikan yang lain? Bolehkah Hati berkata kepada tangan: “Karena kamu tidak merah seperti Aku, kita bercerai”? Bolehkah kaki berkata kepada kepala “Karena kamu tidak menyentuh tanah seperti aku, jadi kamu bukan bagian dariku”? Bolehkah mata berkata kepada telinga: “Karena kamu tidak melihat seperti aku, maka kita tak perlu bersama lagi?”
Tidak pernah orang berkata kepada Telunjuknya: “Karena kamu terluka, jadi kamu bukan telunjukku!”. Atau berkata kepada kepalanya: “Karena kamu memutih, maka kamu bukan kepalaku lagi!”
Sebaliknya, tetap menerimanya dan mengasihinya sebagai bagian dari satu-kesatuan tubuh. “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya.” (Ef 5:28-29).
Kenyataan di hadapan Allah bahwa suami-istri adalah “Satu daging”, menjadi alasan pertama dalam rumah tangga untuk tidak ada kata: “Kita bercerai, karena kamu A, B, C, D, dst...” Andaikan seorang laki-laki menceriakan istrinya, maka itu berarti ia membuang "bagian" dari tubuhnya sendiri yang telah diberikan kepadanya oleh Allah.
Kedua: Prinsip Persatuan
Setelah alasan pertama itu dijelaskan, Yesus menyimpulkan: “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19: 6).
Di sini Yesus menyatakan kepada orang Farisi prinsip mendasar dari sifat hubungan perkawinan, bahwa perkawinan bersifat “persatuan” dan bukan “kemiripan”.
Orang Farisi tahu bahwa, sifat dari hubungan anggota keluarga adalah “kemiripan”: Wajahnya mirip dengan orang tua, golongan darahnya mirip dengan orang tua, pembawaannya mirip dengan orang tua, kelakukannya mirip dengan orang tua, dst.... Karena itu ia disebut “Anggota keluarga”.
Tetapi, hubungan perkawinan tidak bersifat kemiripan, melainkan persatuan. Laki-laki yang dibentuk oleh Allah berbeda dengan perempuan, pergi kepada perempuan yang juga berbeda dengan laki-laki, dan menikah, bukan supaya mirip, melainkan supaya dipersatukan.
Kedua mempelai menikah bukan untuk disama-ratakan, melainkan untuk disatukan. Suami dan istri hidup bersama-sama bukan untuk dimiripkan, melainkan untuk diharmonisasikan. Pria dan wanita diikat menjadi satu melalui pernikahan bukan untuk disama-ratakan, melaikan untuk diseimbangkan.
Nah, orang Farisi semakin diterangi bahwa kalau yang Allah kehendaki dalam hubungan suami-istri adalah “Persatuan” dan bukannya “Kemiripan”, bolehkah yang satu menceraikan yang lain karena alasan perbedaan? Bolehkah Suami berkata kepada Istri: “Karena kamu tidak sama seperti aku, maka kita bercerai?” Bolehkah Istri berkata kepada suami “Karena kamu berbeda dengan aku, maka kita berpisah saja”? Bolehkah kedua pasangan berkata: “Akhiri saja hubungan ini karena kita tak pernah sama rata?”
Tuhan tahu bahwa Kalian dua berbeda, karena Dia yang membuat Anda laki-laki dan Dia juga yang membuat Istri Anda perempuan. Dia tahu bahwa Suami Anda dari debu tanah dan Anda dari tulang rusuk. Dia tahu bahwa sistem-sitem tubuh kalian berbeda. Dia tahu bahwa tempramen kalian berbeda. Dia tahu bahwa cara kalian merespon suatu hal tidaklah sama.
Namun Dia mempersatukan kalian berdua melalui pernikahan Kudus supaya kalian diseimbangkan. Dia ingin kalian diharmonisasikan bukan disamakan.
Jadi kenyataan bahwa Allah mempersatukan Anda dan istri bukan untuk disama-ratakan melainkan untuk diharmonisasikan, adalah alasan kedua seorang manusia tidak dapat berkata kepada pasangannya: “Pergilah sudah karena kita berbeda!", melainkan sebaliknya: “Aku sangat butuh kamu karena kita berbeda.”
Ketiga: Hukum Persatuan
Sesudah Yesus memaparkan kedua prinsip di atas, Ia melanjutkan: “Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Ay 6b).
Di sini, Yesus mengajak orang Farisi untuk berpikir mengenai dasar hukum di dalam hubungan suami Istri, bahwa hubungan keanggotaan keluarga dijadikan secara alamiah, tetapi hubungan suami-Istri dijadikan secara Ilahi. Yang “memiripkan” ayah dan anak adalah genetik, tetapi yang menyatukan suami dan istri adalah Allah. Yesus berkata: “dipersatukan oleh Allah”; Salomo berkata: "Dikaruniakan oleh Tuhan" (Ams 19:14); dan "diperkenan oleh Tuhan" (Ams 18:22).
Jadi perkawinan adalah sebuah ikatan perjanjian yang melibatkan kedua mempelai dan Allah. Apa yang Kalian ucapkan pada hari pernikahan Kudus, itu terjadi di hadapan Allah, dan karena itu berlaku sebagai ikrar yang terikat di antara Anda dan pasangan Anda sampai ajal menjemput. Isi perjanjian itu bukanlah bahwa dalam segala keadaan Anda akan selalu membahagiakan, melainkan entahkah dalam suka maupun duka kalian akan tetap bersama-sama.
Selama jantung Kalian masih berdetak, Anda terus terikat dalam hukum Allah sebagai suami yang sah dari istri Anda, dan selama istri Anda masih bernapas, dia terus terikat di dalam hukum Allah sebagai istri sah dari Anda. Paulus menerangkan ini dengan sangat bagus: “Seorang istri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu” (Rom 7:2).
Jadi Istri Anda yang dengannya Anda berjanji dalam pernikahan kudus, adalah “teman sekutumu dan istri seperjanjianmu” (Maleakhi 2:14); "seumur hidup" (1 Kor 7:39).
Sesudah Yesus memaparkan ketiga alasan ini, maka Dia tiba pada jawabannya: “Tidak boleh diceraikan”.
Jawaban Kristus di sini, berlaku atas dua unsur utama yang dipertanyakan oleh orang Farisi, yaitu:
1. Bolehkah seorang menceraikan istrinya- yang telah dinikahinya bertahun-tahun? Jawab Yesus: “Tidak boleh diceraikan”.
2. Bolehkah orang menceraikan istrinya asalkan ada suatu alasan apa saja? Jawab Yesus: “Tidak boleh diceraikan”.
Jadi tidak ada cela yang bisa dimanfaatkan seseorang untuk menceraikan suami atau istrinya selagi masih hidup.
(Ayat 7-9 akan menyusul sebagai Seri 2 : "BERCERAI "KECUALI KARENA ZINAH"? APA MAKSUDNYA?")
Terimakasih kiranya menjadi berkat bagi kita semua.
Oleh:
Ps. Ayub Melkior
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih